Friday, March 9, 2012

6 Kondisi Dibolehkannya Ghibah

Ghibah Ghibah atau ghaibah berasa dari kata ghaib, yaitu karena orang yang diperbincangkan tidak ada, dan biasanya yang diperbincangkan adalah hal yang dia tidak suka. Dalam kondisi jaman sekarang konteks ghibah adalah menuturkan aib (cela) seseorang dibelakangnya.

Hukum dasar ghibah adalah dosa besar, karena termasuk kedalam Al Kabair. Ghibah termasuk dalam bentuk kedzaliman, yang termasuk dalam salah satu dosa besar. Bahkan, dapat dikategorikan lebih besar dari zina dan minum khamr. Hal ini disebabkan karena ghibah berkaitan dengan hak orang lain, yang penyelesaiannya harus diminta dimaafkan kepada orang yang bersangkutan. Sedangkan dosa kepada Allah, penyelesaiannya 'lebih sedikit syaratnya' yaitu menyesal, meminta ampun, dan berjanji tidak akan mengulangi.

"Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujuraat: 12)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat ghibah di atas mengatakan, "Ghibah (menggunjing) diharamkan menurut ijma'. Tidak ada pengecualian darinya kecuali jika ada mashlahat yang lebih, seperti dalam konteks jarh wa ta'dil dan nasihat."

Karena ghibah termasuk hukum syara' yang mempunyai sandaran (wadla') maka ghibah pun ada yang diperbolehkan dalam beberapa kondisi. Berikut ini adalah 6 kondisi diperbolehkannya ghibah sesuai hukum syariat Islam:

Pertama, Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, "Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu."

Kedua, Nahiy Munkar atau permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran meskipun yang melakukannya adalah seseorang yang alim terlebih orang awam, dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, "Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya."

Ketiga, Al-Istifta (meminta fatwa) atau menanyakan hukum yang menyangkut kekurangan orang lain, seperti kepada ustadz yang memiliki pemahaman tentang hukum. Namun sebaiknya tidak dilakukan di depan umum, dan lebih baik jika disamarkan, tidak perlu menyebutkan identitas pelaku meskipun diperbolehkan. Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), "Si Fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, 'Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, 'Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.'"

Keempat, Tahdirul Muslimin Minal Syahr atau memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
  • Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma', bahkan wajib sebagai langkah melindungi agama (syari'at) dari penyelewengan.
  • Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainnya).
  • Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
  • Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid'ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memberinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
  • Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah.
  • Atau dalam kondisi sekarang, keburukan koruptor dijadikan headline di media-media sebagai shock therapy agar menjadi pelajaran dan membuat orang lain berpikir ulang untuk menirunya.

Kelima, untuk orang yang melakukan kemaksiatan terbuka. Jika seseorang khilaf melakukan kemaksiatan lalu bertaubat, maka kita wajib menutupi aib tersebut.
Namun jika ada orang yang bermaksiat, sudah diperingatkan tidak juga berubah, dan bangga dengan kemaksiatan tersebut, maka membicarakannya termasuk hal yang dibolehkan.

Keenam, dalam rangka ta'rif, yakni ketika ada seseorang memiliki ciri-ciri fisik yang merupakan kekurangan, dan dengan itulah dia dikenali, kita dapat menyebutkan kekurangan tersebut tanpa maksud merendahkan. Misalnya, ada orang datang kepada kita mencari orang yang bernama Ngajiyo, sedangkan Ngajiyo di RT kita ada 2 orang, Ngajiyo yang tangan kanannya buntung dan Ngajiyo yang tangannya normal. Maka orang yang mencari atau kita yang ditanyai boleh menuturkan, "Apakah Ngajiyo yang dimaksud itu Ngajiyo yang tangan kanannya buntung atau tidak?".

Demikianlah 6 kondisi diperbolehkannya ghibah (mempergunjingkan orang lain) sesuai syariat Islam. Semoga bermanfaat!

0 comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Komentarnya Yah

 

Catatan Mami Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon. SEO improved by Apa Dong (dot) Web (dot) ID